Sunday, April 5, 2015

Tata ruang dalam islam

Tata Ruang, Pembangunan dan Konversi Lahan Dalam Islam
Oleh: Hafidz Abdurrahman

Para ulama kaum Muslim telah menulis masalah ini dalam kitab fikih. Ada yang menyatu dengan pembahasan lain, dan ada yang benar-benar terpisah dan menjadi pembahasan tersendiri dalam satu kitab. Pembahasan tentang tata ruang, pembangunan dan konversi lahan telah dibahas oleh al-Mawardi dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah dan al-Farra dalam kitab dengan judul yang sama, ketika mereka membahas Qadhi Hisbah. Sedangkan Ibn ar-Rami secara khusus menulis kitab dalam masalah ini dengan judul, al-I’lan bi Ahkami al-Bunyan. Kitab yang terakhir ini bahkan dianggap sebagai kitab fikih bangunan (fiqh al-bunyan) dan infrastruktur secara umum.

Landscape Tata Ruang Era Islam

Landscape tata ruang dan pembangunan kota di zaman Islam bisa ditarik ke belakang sejak Nabi SAW hijrah ke Madinah, yang menjadi kota baru, bahkan ibukota Negara Islam pertama. Ketika Nabi SAW membangun Madinah al-Munawwarah sebagai pusat pemerintahan Negara Islam, baginda SAW telah menetapkan empat unsur pokok dalam tata ruang dan pembangunan kota ini. Pertama, masjid jami’, yaitu Masjid Nabawi. Kedua, kediaman sang pemimpin agung, baginda Nabi SAW yang berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar, yang kemudian dikenal dengan Suqu an-Nabi (pasar Nabi). Keempat, pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah.

Dengan prinsip yang sama, ketika menjadi Khalifah, Umar bin al-Khatthab, membangun sejumlah kota baru, seperti Kufah, Bashrah dan Fusthath. Sekali lagi, empat unsur pokok di atas, yaitu masjid jami, kediaman sang pemimpin yang berdekatan dengan masjid, pasar, pemukiman penduduk yang dihuni berbagai kabilah selalu menjadi model tata ruang yang diwujudkan dalam pembangunan kota-kota tersebut.
Ketika Abu Ja’far al-Manshur menjadi khalifah, dan mempunyai ambisi besar untuk membangun pusat pemerintahan baru di Baghdad, beliau mengumpulkan para insinyur, arsitek dan orang-orang yang dianggap mempunyai pemikiran (ahl ar-ra’yi) untuk dimintai pendapatnya. Maka, lahirlah kota Baghdad dengan tata ruang melingkar, di tengahnya berdiri masjid jami’ yang megah, berdekatan dengan istana khalifah yang dikelilingi oleh pemukiman penduduk. Dilengkapi dengan jalan-jalan yang lebar sesuai dengan peruntukannya. Ada jalan protokol, yang lebih lebar, kemudian jalan sekunder yang lebih kecil dari jalan protokol, dan jalan di gang-gang yang lebih kecil dari jalan sekunder. Tata ruang dan pembangunan kota ini telah menjadikan Baghdad sebagai kota dengan tata ruang terbaik pada pertengahan abad ke-2 Hijrah.

Ketika Nabi menjadi kepala negara di Madinah, urusan tata kota dan pembangunan ini ditangani sendiri oleh Nabi SAW sebelum kemudian diserahkan kepada Umar bin al-Khatthab untuk Madinah, dan kepada Amr bin al-‘Ash untuk Makkah al-Mukarramah. Dalam perkembangannya kemudian, ketika Umar bin al-Khatthab menjadi khalifah, beliau mendirikan biro khusus yang disebut dengan nama Dar al-Hisbah. Selain biro khusus, Umar juga dibantu dengan para petugas khusus yang menangani urusan tata kota dan pembangunan ini.

Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan, “Qadhi Hisbah-yang  mengepalai Dar al-Hisbah-berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan laluan, sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan. Sekalipun bangunan tersebut adalah masjid sekalipun. Karena kepentingan jalan adalah untuk perjalanan, bukan untuk bangunan. Qadhi Hisbah juga berhak untuk melarang siapapun meletakkan barang-barang dagangan dan bahan-bahan/alat bangunan di jalan-jalan dan pasar, jika barang dan bahan tersebut bisa memudaratkan orang. Dalam hal ini, Qadhi Hisbah berhak untuk melakukan ijtihad dalam menentukan mana yang mudarat dan mana yang tidak. Karena ini merupakan ijtihad dalam masalah konvensi (kepantasan umum), bukan masalah syar’i.” (Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 430-431)

Status Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan

Tata ruang dan pembangunan tersebut jelas membutuhkan lahan. Lahan yang dibutuhkan ini adakalanya milik umum, milik negara atau masih menjadi milik pribadi. Untuk daerah-daerah yang baru dibuka, lahan-lahan yang ada di sana umumnya merupakan tanah tak bertuan, sehingga statusnya bisa dinyatakan sebagai milik umum hingga ada yang menghidupkannya. Berbeda dengan daerah yang telah berpenduduk. Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, lahan yang digunakan oleh Nabi untuk mendirikan Masjid Nabawi adalah tanah milik Sahal dan Suhail bin ‘Amru. Keduanya anak yatim, yang diasuh oleh Muadz bin Afra’ Sahl.
Dalam as-Sirah an-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam dituturkan, bahwa ketika mengetahui perintah Allah untuk mendirikan masjid di tempat itu, Muadz bin Afra’ Sahl menyatakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, tempat penjemuran ini milik Sahal dan Suhail, keduanya anak Amr. Keduanya anak yatim, dan masih keluargaku. Saya akan meminta kerelaan keduanya, kemudian jadikanlah tempat tersebut sebagai masjid.” Di tempat itulah masjid dan rumah Nabi SAW dibangun (Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, I/449).

Dari riwayat ini jelas, bahwa konversi lahan milik pribadi untuk fasilitas umum, termasuk kediaman sang pemimpin agung tadi membutuhkan izin dari pemiliknya. Ini juga ditegaskan dalam hadits Nabi yang lain, “La yahillu limri’in an ya’khudza ‘asha akhihi bighairi thayyibi nafsin minhu (Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas kerelaannya).” (HR Ibn Hibban)
Hal yang sama berlaku dalam pembangunan fasilitas umum lainnya, jika fasilitas ini dibangun dengan menggunakan lahan milik pribadi. Izin yang diberikan pemiliknya bisa dengan kompensasi atau tidak. Jika dengan kompensasi, maka itu pun didasarkan atas pertimbangan kerelaan dari pemiliknya. Demikian juga, jika izin tersebut diberikan tanpa kompensasi apapun, juga harus dengan kerelaannya.

Sebaliknya, jika ada lahan milik umum kemudian dikonversi menjadi milik pribadi, maka harus dilihat faktanya. Jalan, rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau yang lain, maka lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan untuk kepentingan pribadi, yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Jalan dibangun untuk melancarkan perjalanan, maka tidak boleh menggunakan jalan atau mengizinkan penggunaan jalan untuk menaruh barang dagangan, bahan bangunan, parkir mobil, kendaraan dan sebagainya, karena penggunaan seperti ini bisa merusak fungsi jalan sebagai jalan. Demikian juga rel kereta api dan lahannya, pinggiran sungai atau tepian pantai tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal, atau kegiatan yang bisa mengalihkan fungsinya dari fungsi sehingga menghambat kelancaran kereta api, aliran sungai atau laut dan sebagainya.

Termasuk kawasan puncak yang menjadi kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya, tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak fungsinya. Ini juga merupakan lahan milik umum, dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang diproteksi) agar tidak dirusak atau dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak lagi bisa diserah oleh kawasan di atasnya, karena telah dialihfungsikan.

Di sini, Qadhi Hisbah dan Dar al-Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika penggunaan lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti kecelakaan kereta api, meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman yang semuanya terjadi akibat penggunaan lahan yang tidak sebagaimana mestinya. Bangunan rumah, bahkan masjid atau fasilitas umum lainnya bisa dirobohkan untuk menjaga agar lahan tersebut tetap dipertahankan sebagaimana fungsi dan peruntukannya.   []


MASA DEPAN GEDE BAGE - BANDUNG TIMUR

             Tahun 1999 kawasan bandung timur tepatnya kecamatan gede bage masih tidak terlalu menjadi perhatian masyarakat meskipun rencana pengembangan sudah dilaksanakan secara administrative, namun isyu tidak begitu diperhatikan karena belum ada bukti-bukti fisik. Sampai dengan awal tahun 2000an sungai cinambo yang membelah kecamatan gede bage antara kelurahan ranca bolang dan kelurahan cimencrang serta ranca numpang masih berupa aliran pengairan yang posisi air berada 1m di atas badan jalan dengan hanya tumpukkan tanah sebagai pembendungnya. Sehingga dapat dibayangkan jika suatu saat tanggul sepanjang sungai yang terbuat dari tumpukkan tanah tersebut jebol, entah apa jadinya kondisi masyarakat di wilayah tersebut. Benar saja di awal tahun 2000an itu terjadi banjir yang cukup besar sehingga menggenangi komplek griya cempaka arum hingga 1m. Tahun 2004 atau 2005 (kurang persis tepatnya) sungai cinambo di perlebar dan di perdalam untuk mengurangi banjir yang semakin hari semakin buruk jika datang hujan. Meskipun hingga hari ini di perempatan gede bage masih tetap banjir jika mendapat limpahan air dari wilayah ketinggian seperti : cimenyan.

                Tahun 2005 saya tinggal dan menetap di bandung, situasi di komplek griya cempaka arum ramai akan pro dan kontra mengenai rencana pembangunan di wilayah tersebut, terutama rencana pembangunan PLTSA (pembangkit listrik tenaga sampah). Mayoritas warga menolak rencana pemkot untuk mengumpulkan sampah kota bandung di lokasi yang hanya berjarak ratusan meter dari perumahan, tidak hanya karena posisi yang dekat perumahan tetapi dampak-dampak lain pun di tolak masyarakat ketika itu. Salah satu dampak yang di khawatirkan adalah dampak pembakaran yang akan memproduksi gas beracun dioksin (hasil dari pembakaran plastic), tidak kurang penolakannya adalah bagaimana tumpukkan sampah akan terkoleksi di wilayah dekat permukiman, bagaimana antrian truk sampah melewati permukiman, bau pemandangan tidak sedap akan menjadi pemandangan sehari-hari.

                Warga membentuk sebuah gerakan penolakan, karena gerakan tersebut melibatkan banyak wilayah bahkan di luar gede bage maka nama gerakan tersebut adalah “ALIANSI”. Pemimpinnya Muhammad Tabroni, seorang praktisi hukum (pengacara). Lalu warga juga membentuk sebuah gerakkan sadar lingkungan yang di motori oleh ibu-ibu, gerakan ini berupa perlawanan yang aplikatif, memberikan alternative lain dalam pengelolaan sampah, mereka menamakan dirinya FOKAL (forum kader lingkungan).

                Aliansi mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat, terutama masyarakat griya cempaka arum. Namun seiring waktu berjalan dukungan gerakan aliansi memudar, para pendukungnya yang terdiri dari kaum intelektual (prof, DR, praktisi lingkungan), pegawai, politikus sampai pedagang kecil-kecilan mulai meninggalkan ‘ALIANSI’ alasannya bermacam-macam : PLTSA adalah solusi untuk menghabisi sampah, menghambat pembangunan, pemerintah patut mendapatkan dukungan. Entah apa yang terjadi orang-orang yang berada cukup dekat dan mendukung gerakan yang di komandani oleh Muhammad Tabroni ini balik menyerang dengan berbagai argumentasi yang sangat ironi dengan komitment yang mereka buat sendiri. Dengan kata Muhammad Tabroni telah di khianati oleh sebagian kecil pendukungnya. Meskipun sebagian kecil saja yang berbalik arah menyerang dan tanpa malu-malu melepaskan komitmen namun mereka terdiri dari tokoh-tokoh yang pengaruhnya cukup lumayan di masyarakat, atau sekurang-kurangnya mereka dekat dengan tokoh-tokoh masyarakat bahkan petinggi kota bandung sehingga pengaruhnya sangat besar dalam gerakan penolakan pembangunan PLTSA.

                Tidak berhenti sampai di situ, para pembelot gerakan penolakan pembangunan PLTSA balik menyerang ALIANSI, gerakan masyarakat inipun goncang, bahkan banyak dari pendukungnya kini menjadi apatis kemudian pasrah. Di awal tahun 2008 harga jual property di griya cempaka arum menurun bahkan ada sebuah rumah bertipe 21 di jual hanya dengan harga Rp 32,5jt saja, harga yang hanya selisih 1-2juta dari harga belinya. Suatu hal yang tidak umum dalam bisnis property, masyarakat mulai berpikir meninggalkan rumah tinggal mereka yang sudah sekian tahun dicicil dari jerih payah usahanya, mereka beranggapan suatu saat nanti jika pemerintah bersikeras membangun PLTSA maka harga jualnya akan semakin rendah.

                Di tahun yang sama gerakan FOKAL ternyata lebih progress, masyarakat kota bandung lebih bisa menerima kegiatan-kegiatan nya, dukungan berdatangan kepada FOKAL baik berupa sekedar simpati sampai kepada bantuan material dari berbagai element masyarakat termasuk ‘PARPOL’ yang memang sedang tebar pesona dalam rangka mendapatkan dukungan seiring dengan pemilu kada kota bandung. Pemerintahpun tidak diam melihat FOKAL telah mendapatkan dukungan yang menakjubkan dari masyarakat kota bandung terutama para aktifis lingkungan. PU melalui dinas tata ruang dan permukiman menggelontorkan bantuan berupa infrastruktur dan alat-alat kerja untuk mendukung kegiatan FOKAL dalam mengelola sampah di TPS GCA. Bantuan ini datang seiring dengan tidak becusnya institusi pemerintah, yaitu PD.KEBERSIHAN dalam menangani sampah kota terutama di TPS GCA. Anggota-anggota FOKAL kerap mendatangi kantor PD.KEBERSIHAN untuk melayangkan protes terhadap perlakuan sampah di TPS GCA, yang ujungnya adalah DIRUT PD.KEBERSIHAN Bapak Cece H. Iskandar memberikan referensi kepada PU untuk memberikan bantuan kepada FOKAL. Berdirilah TPS dengan pengelolaan sampah berbasis 3R di Gyiya Cempaka Arum. Detail mengenai FOKAL bisa mengunjungi fo-kalink.blogspot.com.

                Lain FOKAL lain lagi ALIANSI, meskipun kegiatan mereka adalah seputar penolakan pembangunan PLTSA di dekat permukiman di wilayah Gedebage – bandung timur. Aliansi kalah dalam berbagai jibakunya di pengadilan, masyarakat semakin apatis, hal ini diperburuk oleh berbagai element masyarakat yang berbalik menyerang kepada personal Muhammad Tabroni, kata-katanya adalah “Muhammad Tabroni memecah belah masyarakat, hari ini masyarakat telah kondusif kenapa harus di bangun isyu penolakan PLTSA lagi? Sudahlah masyarakat sudah mendukung pemerintah jangan dikotori dengan kritisi yang bisa memecah belah.”

                ALIANSI terpuruk, FOKAL pun terpuruk, keterpurukan ini diawali dengan pergantian Lurah Rancanumpang dari Bapak wili kepada Bapak budi hermawan di tahun 2011. Lurah baru mencoba untuk memasuki birokrasi pemerintah kecil (kelurahan) dengan benar, segala kegiatan warga harus di bawah pemerintah termasuk kegiatan pengelolaan sampah di TPS GCA. FOKAL pun luluh lantah karena semua kegiatan FOKAL dilarang atas nama warga, TPS GCA dikuasai oleh LPM kelurahan Rancanumpang.

                Kegiatan FOKAL sebenarnya adalah kegiatan yang memadukan edukasi, sosialisasi dan aplikasi di tataran warga sebagai element terkecil masyarakat dan control kepada pemerintah, namun karena dalam kegiatannya tidak terjadi kaderisasi dan dalam tataran sosial berjalan masing-masing maka FOKAL tidak mampu juga bertahan terhadap tekanan lurah baru yang mengatas namakan warga.

                Diantara proses melemahnya ALIANSI dan FOKAL di wilayah ini muncul ormas BBC yang entah apa kepentingannya. Beberapa kali BBC mengadakan kegiatan kebersihan dengan membersihkan ilalang liar di pinggri sungai cinambo dan menempelkan spanduk kegiatan mereka. Selain itu dimulailah kegiatan pembangunan SUS (stadion utama sepakbola) hingga hari ini.

                Dari seorang ketua RW kelurahan rancabolang menginformasikan bahwa lahan di wilayah sekitar rancabolang telah di beli oleh PT.SUMMARECON AGUNG tbk, sebuah perusahan pengembang property di wilayah jabodetabek yang usahanya kini merambah ke Bandung, menurut kompas.com perusahaan ini telah membebaskan 100ha lahan dari targetnya 400ha (http://www1.kompas.com) dengan biaya awal Rp 800 milyar dan akan di mulai 2-3 tahun ke depan. (bisnis-jabar.com)

                100 hektar sudah di akuisisi oleh perusahaan tersebut memang terlihat dengan terpampangnya plang PT.MAHKOTA PERMATA PERDANA adalah salah satu anak perusahaan PT.SUMMARECON AGUNG. Meskipun banyak orang beranggapan akuisisi lahan tanah yang sebagian besarnya adalah sawah tersebut dilakukan oleh pengembang perumahan adipura (salah satu perumahan yang terdekat) tapi faktanya bukan, adipura dikembangkan oleh PT.MULTIDAYA KHARISMA  dan tidak ada hubungannya dengan PT.MAHKOTA PERMATA PERDANA alias PT.SUMMARECON tbk.

                Mengenai BUMI ADIPURA, tahun 2011 warga adipura menolak pembangunan fly over (Jembatan layang ini akan menyambungkan jembatan layang Pasteur (Pasopati) dengan Gedebage dan melintasi daerah Cicaheum, Suci, Ujungberung hingga tembus Gedebage) yang melintasi perumahan yang telah dibangun dan terisis penduduk, warga menginginkan relokasi pembangunan flyover ke lahan yang belum dibangun dan masih kosong. Informasi tersebut sejalan dengan informasi di lapangan dari salah seorang ketua rw kelurahan rancabolang.

                Perlu diketahui gedebage adalah salah satu daerah di kota bandung yang luas lahan terbukanya cukup besar dan sampai hari ini masih di dominasi oleh areal persawahan bertetanggaan dengan desa tegal luar kabupaten bandung yang lahan terbukanya juga masih luas dan sebagian besar adalah sawah. Ke depan semua akan lenyap seiring pembangunan kota, tidak ada sawah, tidak ada burung blekok, tapi tetap banjir, tetap sulit air bersih, sulit kendaraan umum, banyak preman dan criminal.

                Saya bertanya kepada pak rw setempat, “akan kemana desa ini kemudian pak?” jawabnya : “hilang…”.
Bagaimana dengan buruk blekok yang katanya adalah salah satu kebanggaan kota bandung sebagai keperdulian pemerintah kota terhadap ekosistem kota yang ramah?
Bagaiamana banjir yang hingga hari inipun setiap hujan datang akan menggenangi perempatan gedebage - jalan raya soekarno hatta, seiring semakin sedikitnya resapan air dan drainase (saluran air) yang tidak menyelesaikan persoalan banjir?
Bagaimana pembangunan bisa mengorbankan penduduk yang telah lebih dahulu ada? Kenapa jauh-jauh hari mereka tidak dilarang untuk tinggal jika memang akan ada pembangunan yang mengorbankan penduduk? Kenapa pengembang dibiarkan melakukan pengembangan padahal kemudian hari akan ada pembangunan yang akan merugikan masyarakat meskipun sebagian kecil?
Pertanyaan terakhir saya adalah, apakah kemudian hari semua pengorbanan dampak dari pembangunan ini akan menjadikan masyarakat lebih aman, lebih sejahtera?

Semuanya di jawab pak rw dengan geleng kepala tanpa suara…….